Tengkulak tidak jarang menetapkan pembayaran non tunai kepada pabrikan, sedangkan petani kita tidak sangat sedikit yang menggunakan metode non tunai, mereka lebih nyaman dengan istilah “ada uang, ada barang”.
Inilah yang menjadikan tengkulak merasa superior, tengkulak bisa saja memonopoli harga jual singkong, yang dapat mempengaruhi harga jual ke perusahaan umum, hal ini dapat menjadi pemicu potensi singkong menjadi langka.
Penjualan harga singkong yang fluktuatif dapat diselamatkan dengan memutus mata rantai tengkulak atau membuat aturan-aturan yang mengikat terkait kegiatan pengumpul, hal ini harus menjadi perhatian penuh agar petani tetap mendapatkan keuntungan yang baik. Teknologi harus memainkan peran penting untuk menciptakan petani modern.
Selain teknologi dapat memutus mata rantai tengkulak, dan menghubungkan langsung antara petani dan pedagang besar, tentu saja teknologi dapat berperan sebagai juri yang adil dalam menentukan berat dari produk singkong, hal ini bisa mengurangi praktik-praktik culas timbangan yang tidak akurat.
Sejauh ini penggunaan teknologi pertanian baik pra panen maupun pasca panen, serta produk turunan tepung tapioka belum sama sekali dioptimalkan di Provinsi penghasil singkong terbesar di Indonesia ini.
Pabrik tapioka bisa menghasilkan produk turunan tapioka yang menghasilkan nilai tambah sehingga bisa tercapai zero waste. Para petani singkong bisa juga melakukan hilirisasi produk turunan singkong misalnya Modified Cassava Flour (MOCAF) dan lain sebagainya.
Sudah saatnya kita melakukan penerapan teknologi on-farm dan off-farm. Integrasi menggunakan teknologi dapat membantu petani meningkatkan produktivitas, mengurangi limbah, dan memenuhi tuntutan pasar pertanian yang semakin luas.
Untuk kemajuan pertanian di Lampung harus ada titik temu antara petani, pengusaha, dan pemerintah; mencari akar masalah secara bersama agar menciptakan kesepakatan yang saling menguntungkan (winwin solution), ini harus melibatkan semua pihak agar semua berjalan dengan baik.
Solusi jangka panjang untuk pertanian di Lampung tidak lain adalah membenahi tata niaga secara Komprehensif. Sedangkan untuk jangka pendek, tetap duduk bersama bagaimana agar para petani dan pengusaha tidak rugi, dan harus kita pastikan berapa sebenarnya Harga Pokok Penjualan (HPP) petani.
Kita ambil contoh saja, HPP petani singkong misalkan, tidak lebih dari Rp700 per kilogram rata-rata, maka dapat ditentukan bersama berapa biaya logistik dan keuntungan petani agar bisa disepakati harga jual ke pabrik. Apabila tidak ada kesepakatan maka yang akan dirugikan pasti petani, pengusaha dan juga masyarakat sebagai konsumen.
Kadar aci bisa tinggi, memutus mata rantai tengkulak, timbangan tidak dikorupsi, peran aktif teknologi, dan jika memungkinkan perusahaan tapioka menjadi induk semang dari kelompok-kelompok petani singkong di Lampung.
Kedepan pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMD) khusus pangan mungkin saja bisa menjadi salah satu solusi. Tidak perlu membentuk baru, tapi dapat merubah bidang kegiatan BUMD yang lama agar bisa segera dijalankan. Karena pembentukan BUMD baru biasanya memakan waktu cukup lama, hanya saja pengurus BUMD harus benar-benar dari kalangan profesional.
Di Akhir kata, kita harus tahu, bahwa Gubernur terpilih untuk periode 2025-2030, Rahmat Mirzani Djausal memiliki kekhawatiran kuat terhadap problem pokok pertanian seperti singkong salah satunya. Gubernur terpilih ini harus memecahkan masalah pertanian di Lampung, karena 82,69 persen hak pilih di Lampung sudah memberikan amanah kepadanya.
Dan menurut saya, Gubernur Lampung terpilih ini sudah mengantongi solusi dari permasalahan hulu-hilir tata niaga.