“Leluhur kita telah mengajarkan toleransi, dan bangsa kita sudah hidup berdampingan dalam keberagaman selama ribuan tahun. Namun, ke depan, kita harus membentuk keharmonisan yang luar biasa. Seperti permainan musik dengan alat yang berbeda, namun menghasilkan irama yang sama. Itulah harmoni sejati.” – Rahmat Mirzani Djausal
Bismillah! Pemberian gelar kehormatan Ksatria Shri Natha Bhuwana kepada calon Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal baru-baru ini oleh Komunitas Hindu Bali di Kampung Rama Dewa, Kabupaten Lampung Tengah, tengah menjadi sorotan beberapa pihak.
Tentunya ini tidak terlepas dari cara segelintir orang yang putus asa untuk memanfaatkan isu Agama yang memang sudah tidak lagi menarik dalam Pemilihan Kepala Daerah, lantas apakah pemberian gelar adat tersebut adalah hal yang salah dalam sudut pandang Islam?
Saya, atau Anda yang membaca tulisan ini, yang bukan ahli dalam hukum Syariat Islam, “mungkin” bukan orang yang tepat untuk menetapkan apakah kegiatan pemberian gelar kehormatan oleh komunitas Hindu Bali kepada Rahmat Mirzani Djausal (RMD) adalah hal yang menyimpang dari ajaran Islam.
Pemberian Gelar, sejauh yang saya pahami, koreksi jika salah. Tentu saja berkaitan dengan kegiatan adat, kenegaraan, ilmu pengetahuan, dan kualifikasi akademis. Sejauh ini tidak ada Pemberian Gelar yang berkaitan dengan Agama atau yang dapat mengganggu keyakinan dalam Bertuhan Satu, Tuhan Yang Maha Esa.
Mungkin saja kegiatan itu jadi pengganggu, yang mengganggu pemikiran dan keyakinan segelintir orang bahwa Mirza tidak akan diterima dengan mudah dalam komunitas Hindu Bali. 😁
Namun nyatanya Mirza diterima dengan gelar penghormatan Ksatria. Kasta tertinggi kedua dalam kehidupan sosial masyarakat Hindu Bali setelah Brahmana, kasta yang berasal dari keturunan raja pada zaman dahulu.
Lantas apakah ini salah dalam ajaran Agama Islam? Ya tentu saja tidak salah, tapi ini menurut saya pribadi dengan segala keterbatasan pengetahuan yang saya miliki. Alasannya karena tidak ada sedikitpun Ayat dalam Al-Quran yang menjelaskan detail tentang hal itu.
Kita juga tidak dapat memahami hadits dengan memahami teks saja, tapi juga pemahaman mengenai konteks hadits dimaksud, atau sebab-sebab yang mempengaruhi munculnya hadits tersebut.
Seperti hadits berikut ini: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” – (H.R. Ahmad dan Abu Dawud)
Hadits diatas merupakan salah satu hadits shahih yang memiliki sifat adil didalamnya. Mengapa bersifat adil? Kata “menyerupai” dalam hadits diatas tentu harus berlaku adil, guna untuk melihat apakah kegiatan “menyerupai” itu dilakukan secara terus menerus dan berulang, ataukah hanya sekali saja, seperti pakaian adat yang dikenakan Mirza dalam proses pemberian gelar dua hari yang lalu.
Kita semua tentu setuju bahwa adil bukan hanya dalam pemikiran saja, tapi juga dalam perbuatan.
Jika memang dalam hadits tersebut mempertimbangkan kegiatan yang berulang atau hanya sesekali yang juga memang merupakan tujuan yang baik, lantas dimana salahnya?