Kata Mereka

Cara Mirza Dekati Kelompok Minoritas

97

Tentu tidak ada salahnya, ini hanyalah pro kontra atau ketidak samaan dalam pemikiran saja.

Sama seperti Jamiluddin Ritonga yang terkejut saat Universitas Pertahanan (Unhan) akan memberikan gelar Profesor Kehormatan kepada Megawati Soekarno Putri.

Apakah kegiatan pemberian gelar adat itu salah dikarenakan Mirza memakai pakaian adat Bali yang lantas dikaitkan dengan politik identitas? Atau salah dalam hal agama karena kita yang terlalu fokus pada kata “menyerupai”.?

Bagaimana kita bisa berpikir bahwa Megawati saat menerima gelar Honoris Causa lantas dicap sebagai pengikut agama politeistik atau tiba-tiba ter-babtis sebagai pengikut agama Kristen, hanya dikarenakan sejarah toga yang merupakan peninggalan Romawi Kuno atau yang diperkenalkan kembali oleh Universitas-universitas di Eropa? Jika demikian, kader PDI-P se-Indonesia Raya akan murka tentunya.

Saya mengutip pernyataan Mirza beberapa bulan lalu: “Leluhur kita telah mengajarkan toleransi, dan bangsa kita sudah hidup berdampingan dalam keberagamaan selama ribuan tahun. Namun, ke depan, kita harus membentuk keharmonisan yang luar biasa. Seperti permainan musik dengan alat yang berbeda, namun menghasilkan irama yang sama. Itulah harmoni sejati.”

Bahwa kegiatan yang dilakukan seorang Rahmat Mirzani Djausal dalam kegiatan pemberian gelar adat tersebut adalah momen bagi dirinya untuk mengenali hati dan pikiran orang lain, mengenal lebih dekat kelompok-kelompok minoritas yang ada di Provinsi Lampung.

Saya teringat kisah Confucius (Kong Hu Cu) saat dirinya meninggalkan kerajaan Lu dan mengembara bersama murid-muridnya, kelaparan sudah menjadi barang pasti, saat itu Kong Qiu (Confucius) dan murid-muridnya sudah berhari-hari tidak makan.

Saat Ia sedang memainkan Guzheng (alat musik tradisional Tiongkok) Kong Qiu diberikan sup kuda satu-satunya dari bekal mereka, namun Kong Qiu hanya meminumnya sedikit dan kemudian dibagikan kepada seluruh muridnya yang berjumlah puluhan orang.

Mengenali hati dan pikiran orang lain akan membawa kita pada sebuah seni politik tingkat tinggi, itulah yang dilakukan oleh Mirza dalam tahun politik ini. Berpolitik dengan etika, berpolitik riang gembira. Tidak menekan, tidak mengintimidasi masyarakat dan tidak menghadirkan isu konyol yang sudah usang termakan oleh zaman.

“Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang rugi.” – (Q.S. Al-A’raf [7]: 178).

“Kullu Banī Ādama Khathā’un. Wa khairul khaththā’īn at-tawwabūn.” Setiap manusia memiliki kesalahan. Orang bersalah yang paling baik adalah orang yang bertobat. (H.R Ibn Majjah).

Jadi bertobatlah kalian yang sering kali menyampaikan hal-hal yang buruk.

Exit mobile version