Pemprov Lampung Langgar HAM?
Diberitakan bahwa warga yang digusur oleh Pemprov Lampung mendapatkan ganti rugi senilai Rp2,5 juta, terlepas dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh warga, apakah ganti rugi itu pantas?
Lalu apakah Pemprov Lampung yang saat ini dipimpin oleh Pj Gubernur Samsudin telah melanggar Hak Asasi Manusia?
Jika memperhatikan Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia 1993/77, lebih lanjut memperhatikan Resolusi Sub-Komisi 1992/14 tanggal 27 Agustus 1992 disebutkan pada point pertama adalah “Affirms that the practice of forced eviction constitutes a gross violation of human rights, in particular the right to adequate housing.”
Jelas tertulis disana, menegaskan bahwa praktik penggusuran paksa merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, khususnya hak atas perumahan yang layak.
Hal ini senada dengan Undang-undang Dasar 1945 yang tertulis pada pasal 28H ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Pemberian uang ganti rugi oleh Pemprov Lampung senilai Rp2,5 juta tersebut dinilai patuh dan tunduk pada Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012, hal ini mungkin saja agar menghindari tuntutan dari kelompok yang tergusur.
Terlepas Pemprov Lampung telah melakukan pelanggaran HAM atau tidak, hari ini lebih baik memperhatikan dampak dari penggusuran tersebut yang dirasakan oleh para eks warga kepala burung. Menurut kabar yang saya dapat, eks warga kepala burung akan tetap bertahan dan bermalam di area penggusuran dikarenakan belum mendapatkan tempat tinggal.
Menteri HAM Bakal Bangun Kampung Redam
Kementerian HAM dibawah pimpinan Natalius Pigai berencana membangun Kampung Rekonsiliasi dan Perdamaian (Redam) sebagai pusat Pemasyarakatan nilai-nilai hak asasi di daerah-daerah yang pernah menjadi titik konflik sosial.
Pembangunan Kampung Redam merupakan bentuk kehadiran Pemerintah untuk menciptakan perdamaian dan keadilan, terutama di daerah pasca konflik.
Dalam keterangan tertulisnya, Pigai menjelaskan pembangunan Kampung Redam dimulai dengan pemetaan daerah konflik yang pernah terjadi dalam skala besar di seluruh Indonesia, seperti Ambon, Aceh, Poso, Kalimantan, Papua dan juga di Provinsi Lampung.
Kampung Redam nantinya akan dipimpin langsung oleh masyarakat setempat yang mewakili kelompok sosial terlibat konflik. Kampung itu akan dilengkapi dengan sistem informasi untuk memantau kondisi serta dibekali dengan aspek-aspek Pemasyarakatan nilai-nilai HAM.