“Salah satu visi dari BRICS adalah menghilangkan ketergantungan dengan barat terutama pengaruh Amerika Serikat, Indonesia akan dengan mudah mengakses pembelian gas dan minyak murah dari Rusia karena Sanksi Eropa dan Amerika Serikat.”
Prayoga Salim
Politik luar negeri Indonesia dilandaskan pada sebuah doktrin “non-alliance” yang menepatkan Indonesia sebagai non-blok pada panggung teater politik luar negeri.
Hal ini mendorong sebuah kritik tajam pada pemerintahan Prabowo yang diwakilkan oleh Menteri luar negerinya Sugiono yang menyatakan keberpihakannya untuk masuk ke dalam Aliansi BRICS yang merupakan platform negara-negara yang tergolong “musuh Amerika Serikat”.
Kritik yang masuk jelas mempertanyakan apakah Indonesia sudah menyalahkan doktrin luar negerinya untuk tidak ikut memihak ke dalam salah satu kubu menjadi isu yang terus dipertanyakan.
Hal ini dipertanyakan karena jika kita mendekatkan diri pada Rusia atau China maka Indonesia akan lebih dipandang skeptis pada negara-negara barat terutama Amerika Serikat dan juga Uni Eropa yang sangat jelas tidak menyukai negara Rusia dan China.
Hal ini bukan tanpa alasan setelah Donald Trump terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat yang jelas membawa isu “America first” dan langsung menyatakan pandangan nasionalisnya seperti akan memerangi impor dari China, akan menghukum negara-negara yang berhubungan dengan industri China seperti Mexico, dan lainnya.
Trump juga tidak menunjukkan keinginannya untuk mengurangi diri tensi pada perang di Russia-Ukraina ataupun peredaan konflik di Timur Tengah.
Hal ini memunculkan ketakutan untuk para analis ekonom ataupun politik Internasional untuk mengambil sikap tegas posisi Indonesia di panggung Politik Internasional.
Setelah perang dingin berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet konsep timur dan barat sudah tidak relevan untuk menjelaskan dunia politik internasional, banyak produk-produk dengan brand “Kapitalis” yang diproduksi di negara-negara “komunis” menunjukkan seberapa romantisnya kedua negara tersebut dan menyadarkan bahwa konsep blok didunia sudah tidak terlalu relevan.
Indonesia yang terperangkap pada doktrin “pakta non-aliansi” mengakhiri Indonesia sebagai bangsa yang tidak terikat pada negara-negara lain, hal ini membuat Indonesia bisa bertahan pada Pandemi global COVID-19 lalu hal ini karena tidaknya Indonesia terintegrasi dengan ekonomi global yang membuat guncangan ekonomi yang dirasakan negara-negara lain tidak begitu mengguncang Indonesia hal ini juga terjadi Ketika 2008 ketika Wall Street terguncang hebat karena runtuhnya lechman brother karena kredit macet yang mengguncang ekonomi dunia khususnya Eropa Indonesia juga berhasil bertahan, namun Ketika dunia berhasil keluar dari COVID-19 dan mulai berbenah hal ini membuat Indonesia secara praktis ditinggalkan.