Ketika terpilih sebagai presiden pada 2014 Jokowi disebut-sebut sebagai barak obamanya Indonesia, sementara majalah Times menggambarkannya A New Hope buat Indonesia.
Akan tetapi untuk melihat wajah Jokowi yang sesungguhnya barangkali kita mesti meminjam kacamata Hans J. Morgenthau, ilmuwan politik, dalam bukunya yang berjudul Politics Among Nations the Struggle for Power and Peace.
Morgenthau bilang sangat bias dan keliru untuk menilai kualitas politisi atau pejabat hanya dari nilai-nilai personal atau citranya saja, sebaliknya kualitas politisi sudah seharusnya dilihat dari kemampuan dan dampak dari kebijakan yang dibuatnya.
Beberapa hari di bulan Oktober 2020 ribuan masyarakat melakukan demonstrasi di jantung Jakarta, mereka murka pada Jokowi yang dianggap menjadi otak lahirnya undang-undang Cipta kerja, undang-undang ini dinilai syarat pasal kontroversial karena merugikan dan membatasi hak Kaum Buruh, di antaranya mempermudah izin Tenaga Kerja Asing, menambah jam lembur, hingga menghapus UMK.
Selain itu proses perumusan undang-undang juga dinilai cacat hukum, karena enggak transparan dan terkesan ngebut.
Di tengah eskalasi penolakan Jokowi bergeming. Tidak hanya sampai disitu, selama hampir 10 tahun berkuasa Jokowi dua kali menyetujui revisi undang-undang ITE yang berisi pasal karet pengekangan kebebasan berekspresi, dan pembatasan sikap kritis masyarakat terhadap pemerintah.
Belum selesai, ada pula revisi undang-undang KPK pada 2019, yang malah melemahkan posisi lembaga tersebut. Pada 2022 indeks persepsi korupsi Indonesia merosot ke titik terendah dalam 10 tahun terakhir
Ada pula undang-undang IKN yang disahkan secara kilat tanpa partisipasi publik yang bermakna. Citra wong cilik bak luntur seketika, berganti sosok otoriter pembela penguasa. Kondisi ini mengingatkan pada pendapat Jeffrey Winters dalam bukunya Oligarchy and Democracy in Indonesia, yang menyebut sejak awal Jokowi sudah terlibat dengan campur tangan oligark.
Meski Jokowi digemari masyarakat, untuk maju jadi presiden Ia tetap butuh kendaraan, dalam konteks ini partai, dan sosok yang punya modal buat mendukung pencalonannya, maka dari itu, konsekuensinya ketika terpilih adalah Jokowi tak mengatur pemerintahannya sendirian, di belakangnya ada para oligark atau elite partai koalisi yang pastinya punya kepentingan.
Ujungnya sosok wong cilik itu mesti membayar mahal demokrasi lewat berkompromi dengan kehendak oligarki. Dari sini lahirlah kebijakan-kebijakan kontroversial, di sisi lain Jokowi Adalah politisi cerdik yang merangkul oposisi politiknya termasuk Prabowo yang dua kali jadi rivalnya di pemilu.
Koalisi pemerintah pun menguasai 81,9% kursi di DPR yang bikin berbagai kebijakan lolos nyaris tanpa tantangan, meski ramai-ramai ditentang publik.