Relawan Jangan Jadi Pemain Sepakbola
Bicara relawan atau volunteer politik, tidak kita pungkiri bahwa Jokowi adalah “suhengnya” di Indonesia, setidaknya ada 18 relawan seperti Projo, Bara JP, Jaman, Pasbata, Alap-Alap, Almisbat, Maluku Satu Hati dan lain sebagainya adalah relawan yang memang benar-benar jaringannya merata, dan rutin mengadakan pertemuan dengan judul Musyawarah Rakyat (Musra).
Munculnya voluntarisme ini bukanlah ingin menyaingi parpol akan tetapi mereka menganggap bahwa parpol sudah tidak sebangun dan sejalan dengan aspirasi publik. Ini tidak lain karena lemahnya peran parpol sebagai rahim ideologis bagi para calon pemimpin.
Jika melihat dari historiografi politik, voluntarisme memang pada awalnya adalah layanan kepada tentara yang sedang berperang, dilakukan oleh M. Fr Voluntaire seorang warga Prancis dengan tugas mengabdi secara ikhlas dalam kegiatan altruistik untuk mendorong, memperbaiki, dan meningkatkan kualitas kehidupan dibidang sosial, budaya, dan ekonomi.
Dalam hukum, para volunteer politik dilindungi oleh undang-undang seperti yang termaktub pada Pasal 28 UUD 1945, dan Pasal 24 ayat (1) dan (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Dengan dilindunginya para relawan ini oleh UUD 1945 dan UU 39 Tahun 1999 tentang HAM, semakin kesini semakin banyak masyarakat yang membentuk barisan relawan politik, para aktivis contohnya relawan yang digerakkan oleh para aktivis adalah murni bahwa calon yang mereka dukung melalui pengorganisasian relawan mampu membuat demokrasi menjadi lebih baik.
Disisi lain tentu banyak relawan politik memiliki kepentingan yang sifatnya pragmatis, imbalan adalah hal yang wajar bagi mereka. Mendapatkan proyek atau posisi menjadi alasan kuat untuk mendukung salah satu calon kepala daerah. Jika tidak ada nilai tawar proyek dan posisi terpaksa jual putus, ongkos jalan jadi mainnya.
Teringat pertanyaan dari Maximus, Komandan pasukan utara Raja Marcus Aurelius kepada Cicero, karibnya kala itu, Maximus menanyakan kabar pasukannya di Ostia sebuah kota pelabuhan di Roma Kuno. Cicero hanya menjawab dengan tiga kata “Gemuk dan Bosan.”
Kemudian Maximus kembali bertanya siapa yang selama ini memimpin pasukan di Ostia saat dirinya dituduh atas pembunuhan raja Marcus Aurelius, Cicero menjawab “Beberapa orang bodoh dari Roma.” dan kemudian Maximus bertanya kesiapan mereka bertempur untuknya, Cicero kembali menjawab “Untukmu, Besok.”
Pilkada adalah pertarungan dengan strategi, banyak trik dan juga intrik terjadi didalamnya, ini bukan hanya tentang seberapa besar koalisi partai atau seberapa banyak organ relawan yang tergabung, ini adalah seberapa kuat mental dan kantong calon kepala daerah untuk meyakinkan masyarakat untuk memilih dan juga “sistem.”
Dengan banyaknya organ relawan yang mendukung Mirza-Jihan wajar saja jika elektabilitas pasangan tersebut melesat jauh meninggalkan Arjono, namun ternyata banyaknya organ relawan bukanlah satu perkara yang mudah, banyak resiko jika tidak dapat dikoordinir dengan baik.
Memang, penderita obesitas masih dapat berjalan dengan baik, tapi terlalu banyak tekanan di kaki dapat menyebabkan cidera dan robek di jaringan tersebut, walaupun demikian obesitas tidaklah terlalu berbahaya jika dibandingkan dengan “kurang gerak” itu lebih mematikan bagi tubuh.
Tapi sejauh ini, jika dilihat dari pergerakan, Mirza-Jihan jauh unggul dibandingkan Arjuno. Mulai dari sosial media hingga alat peraga kampanye seperti billboard; “jak Ranau tigoh di Teladas, jak Palas munggak mit Bengkunat, gunung rimba tiuh pumatang pulau-pulau di lawok lepas,” semua terlihat billboard, baliho, dan spanduk bergambar Mirza-Jihan. (Ya silahkan bernyanyi, itu penting di tahun-tahun politik).
Relawan memang diharuskan pandai bernyanyi, menari, memainkan alat musik, tapi tidak dianjurkan seperti pemain sepakbola.
Rata-rata pemain sepakbola di dunia ini akan pindah klub saat dirinya kurang jam bermain atau tidak dimainkan sama sekali, hal ini lantaran persaingan antar sesama pemain, yang dianggap oleh pelatih kurang lihai dalam mengolah si kulit bundar ketimbang pemain lainnya.
Hal itu lumrah terjadi, karena pemain sepakbola selain itu adalah hobi, juga sebagai mata pencarian dan sumber keuangan yang jelas, berbeda dengan relawan yang mata pencarian aslinya beraneka ragam, mulai dari buruh, pedagang, petani, nelayan, dan lain sebagainya.
Loyalitas dalam politik sangatlah penting, itulah perlunya sebelum memilih untuk mendukung calon kepala daerah harus paham track record masing-masing calon. Mulai dari visi misi dan program kerja.
Tapi yang pasti dari sekian banyak masyarakat yang membentuk organ relawan untuk mendukung masing-masing calon, peran para relawan ini sekali lagi sangatlah penting untuk mendongkrak popularitas pasangan calon.
Dari pergerakan relawan yang bersentuhan langsung ke masyarakat inilah salah satunya dapat mempengaruhi hasil survei, mungkin saja, dengan banyaknya organ relawan yang bergerak kebawah menggalang dukungan menjadi penyebab naiknya elektabilitas Mirza-Jihan. Terlepas dari opini publik bahwa lembaga survei dapat dipesan.
Dari sini dapat sedikit kita mengerti kekuatan pasangan Mirza-Jihan untuk memenangkan Pilkada Lampung, mulai dari penetapan calon Bupati/Walikota yang diharuskan “linier” dengan pergerakan calon Gubernur, serta gemuknya koalisi partai pendukung dan organ relawan menjadi faktor penentu kemenangan Mirza-Jihan.
Pemilihan tinggal hitungan hari, jika Top Dog hari ini ada pada Mirza-Jihan, apakah Arinal-Sutono mampu mencetak Upset dengan berbekal status Underdog? Kita tunggu pilihan masyarakat Lampung.